Senin, 11 November 2013

Contoh Pelanggaran Etika Bisnis dalam Kejahatan Korporasi Terhadap Kasus Wisma Atlet



Pemberantasan korupsi sangat penting bagi keberlangsungan suatu Negara meningat korupsi bisa menimbulkan permasalahan yang serius bagi Negara karena membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat. Korupsi bisa merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas serta membahayakan pembangunan social, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, korupsi menjadi issu penting bagi setiap pemimipin Negara-negara maju dalam setiap agenda politinya, agar mendapat dukungan baik dari rakyat maupun partai politik.
Supremasi hokum dan pemerintahan yang bersih, dalam suatu Negara hokum merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Penegakan hukum kasus korupsi perlahan juga menunjukkan kemajuan secraa kualitas, dengan dibongkarnya kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan tokoh elit politik maupung melibatkan korporasi. Yang terkini adalah kasus Wisma Atlit.
Kasus Wisma Atlit menjadi hangat dibicarakan karena melibatkan Nazarudin, yang merupakan bendahara umum Partai Demokrat, sehingga memunculkan dugaan bahwa korupsi tersebut berkaitan dengan pemenangan pemilu legislative dan pemilu presiden tahun 2009. Dalam melakukan yang merugikan keuangan Negara tersebut, tentunya Nazaruddin tidak bekerja sendiri. Menurut penulis, ada suatu piranti atau tool of crime yang digunakan Nazaruddin untuk mencuri uang Negara, yaitu : Pertama, ada proyek yang digunakan untuk pengucuran keuangan Negara. Kedua, ada organisasi yang digunakan untuk manajemen korupsi. Ketiga, adanya dukungan birokrasi yang berupa aturan atau kebijakan, dan Keempat, ada korporasi yang digunakan untuk pengerjaan proyek tersebut. Sehingga korupsi yang dilakukan Nazaruddin terlihat terstruktur dan termasuk dalam kategori grand korupsi.
Namun, yang perlu digaris bawahi, hingga saat ini penegak hokum belum menindak lanjuti korporasi jahat yang telibat dalm pidana itu, sehingga dikhawatirkan bisa merusak kewibawaan Negara, sebab Negara tidak berdaya melawan korporasi.
Dalam kajian teoritis, koruptor bukan hanya dihukum tetapi juga dibongkar modus operandi dan sindikasinya sehingga dari situ dapat ditemukan formula yang tepat untuk mencegah korupsi, serta penegakan hokum yang telah dilakukan nantinya akan lebih adil dan memberi manfaat bagi rakyatnya.
Clinard dalam Koesparmono mengatakan, bahwa kejahatan korporasi adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang dapat dihukum oleh Negara, tanpa mengindahkan apakah dihukum beradasarkan hokum administrative , hokum perdata atau hokum pidana.
Kronologis Kasus Wisma Atlet
            Korupsi Wisma Atlit terbongkar setelah dilakukan penyadapan oelh tim penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan diketahui kronologis kasus ini sebagai berikut : Nazaruddin selaku anggota DPR RI telah mengupayakan agar PT Duta Graha Indah Tbk menjadi pemenang mendapatkan proyek pembangunan Wisma Atlit dengan mendapat jatah uang  sebesar Rp. 4.34 miliar dengan nilai kontrak senilai Rp. 191.672.000.000 jatah Nazarudin diberikan dalam bentuk empat lembar cek dari PT DGI yang diberikan oleh Idris. Idris mempunyai tugas mencari pekerjaan (proyek) untuk PT DGI bersama-sama dengan Dudung Purwadi selaku Direktur Utama PT DGI. Nazaruddin sendiri bertemu dengan Sesmenpora Wafid Muharam dengan ditemani oleh anak buahnya Rosa. Singkat cerita, setelah mengawal PT DGI Tbk untuk ikut serta dalam proyek pembangunan Wisma Alit, Rosa dan Idris membahas rencana pemberian success fee kepada pihak-pihak yang terkait dengan pekerjaan pembanguna Wisma Atlet.
            Korupsi Wisma Atlet merupakan kejahatan white-color crime dimana pelaku-pelakunya merupakan orang yang cerdik pandai dan bukan orang miskin. Istilah white color crime pertama kali dikemukakan oleh Sutherland, yang merujuk pada pelaku kejahatan dengan tipe pelaku yang berasal dari orang-orang social ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggan terhadap hokum.
Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek illegal sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan melakukan penyuapan kepada pejabat Negara. Kejahatan-kejahatan tersebut sulit untuk diketahui oleh masyarakat karena memang kejahatan yang terselubung dan dibungkus dengan aturan-aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya. Kejahatan tersebut buru bisa diketahui bila ada orang dalam yang membocorkannya kepada public. Kemudian penegak hokum melakukan penyelidikan dengan melibatkan auditor keuangan, sehingga kejahatan tersebut menjadi terang.
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus Wisma Atlit dilakukan secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan penyelenggara Negara. Kasus penyuapan yang terjadi merupakan upaya memuluskan agar tender jatuh kepada perusahaan tertentu. Semua rumusan unsur dalam definisi kejahatan  singkron dengan kejahatan korupsi Wisma Atlit dengan pertimbangan sebagai berikut : Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas  nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkup perusahaan korporasi tersebut baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pemikirannya adalah bahwa proyek tersebut merupakan proyek besar yang memakan biaya seniali Rp. 191.672.000.000 yang tidak mungkin struktur tertinggi dalam korporasi tidak mengetahui jika PT DGI bagi-bagi suap Wisma Atlet. Bukan hanya itu, fakta lain yang mendukung tuduhan itu adalah cek yang diberikan PT DGI kepada pihak-pihak terkait pemenagan tender termasuk yang diberikan kepada Wahid Muharam yang ditandatangani bagian keuangan PT DGI.
Kemudian unsur Kedua, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya dapat diterapkan dalam kasus ini. Mengacu pada asumsi demikian, dapat dikenakan pidana berdasarkan rumusan delik KUHP atau dengan UU KPK sesuai dengan perannya masing-masing. Kemudian untuk korporasi yang terlibat dapat dijatuhi sanksi sesuai atauran dan kejahatan korporasi misalnya digugat perdata ataupun penutupan operasional perusahaan. Sehingga, seharusnya KPK tidak memeriksa para saksi dan tersangka kasus suap Wisma Atlet dalam kapasitas sebagai individu, tetapi sebagai pengurus korporasi agar korporasi juga bisa dijatuhi sanksi karena bentuk penjatuhan sanksi kepada korporasi yang merupakan bagian control pemerintah kepada korporasi.
Dalam konteks Negara, seharusnya keseriusan Negara dalam memberantas korupsi jugaharus dipertanyakan, diamna kejahatan tersebut banyak melibatkan penyelenggara Negara serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Negara yang kerap membuat terjadinya korupsi. Hal ini mengisyaratkan bahwa negeri ini belum mampu membuat regulasi dan system yang kebal terhadap korupsi. Namun menurut Romany, seharusnya Negara dengan kekuasan politiknya bisa menjamin terselenggaranya kebijakan dan kinerja yang effektif bersih, bukan sebaliknya melalui pejabat publiknya dan jajarannya bertindak melawan hokum dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kendati demikian, Negara bukan termasuk korporasi yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban layaknya korporasi, namun pejabat-pejabatnya yang terkait kejahatan bisa dipidana.

Kesimpulan :
          Kejahatan korupsi merupakan extra-ordinary crime, berdasarkan efek yang ditimbulkannya. Sehingga pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas kepada menghukum koruptor saja, melainkan juga harus dibongkar modus operandi dan sindikasinya sehingga dari situ dapat ditemukan formulanya yang tepat untuk mencegah korupsi, serta menindak korporasi yang terlibat. Sehingga supremasi hokum dan pemerintahan yang bersih, dalam suatunegara hokum yang merupakan salah satu kunci berhasil atau tidaknyasuatu Negara dapat dicapi.

Pendapat Saya :
            Kejahatan korupsi Wisma Atlet masuk dalam kategori kejahatan korporasi. Oleh karena itu, penanganannya tidak cukup kepada individu-individu yang melakukan pidana melainkan keapada perusahaan yang terlibat dalam praktek tersebut harus dikenai sanksi, baik sanksi yang berkaitan dengan administrasi maupun keperdataan agar kewibawaan Negara dapat terjaga.

Sumber :
Chiruddin Ismail, Pidana Harta Kekayaan, Suatu Alternatif Kebijakan Hukum Perdata Pemberantasan Korupsi, Melin Press, Jakarta, 2009.
Koesparmono Irsan, Kejahatan Korporasi, STIK, Jakarta, 2011.

 Nama : Chitra Dewi Sitorus
NPM/Kelas : 19210476 / 4EA10
#Tugas Kedua Softskill Etika Bisnis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar